Jumat, 02 Juli 2010

Berburu Burung di Muara Gembong

A. Sejarah Singkat Perburuan di Muara Gembong

Di Muara Gembong, perburuan secara massal sudah dilakukan sejak tahun 1930-an. Masyarakat di sekitar kawasan ini mencari burung untuk dijadikan bahan kebutuhan makanan. Dengan hanya menggunakan alat berupa benang senar dan layang-layang, masyarakat awalnya hanya memburu jenis burung tertentu, seperti Pecuk dan Kuntul. Teknik ini dikenal di masyarakat dengan nama “pancing”. Pemburupun terbatas, hanya para nelayan dan pencari ikan di laut yang menggunakan alat ini. Teknik yang lain adalah “Ngrogong”, yakni berburu burung Rallidae sepert Mandar dan Tikusan dengan cara menyelam dan menangkap bagian kaki burung.

Teknik perburuan kemudian meningkat seiring terjadinya perpindahan penduduk ke daerah Muara Angke dan Cilincing, Jakarta Utara. Di daerah ini, pendatang dari Muara Gembong mendapatkan pengalaman mengenai teknik peralatan berburu, kemudian dipraktekkan di sekitar Jakarta Utara. Dengan semakin berkembangnya daerah Jakarta, menyebabkan terjadi pergeseran areal perburuan menuju ke pesisir sebelah timur, yakni Ujung Karawang. Pada masa tersebut, mulai terjadi perburuan secara massal di Muara Gembong.

Kegiatan perburuan kemudian bergeser, dari masalah faktor ekonomi menjadi budaya, dikarenakan kegiatan ini dipelajari dan dijadikan salah satu sumber mata pencaharian. bahkan telah terbentuk suatu sistem yang rapi di dalam perburuan ini, sehingga kita perlu sangat hati-hati untuk melihat dan masuk ke dalam sistem ini.

B. Metode dan Teknik Berburu

Tedapat beberapa macam metode dan peralatan yang digunakan untuk berburu. Kami mencatat ada 5 metode dan teknik yang digunakan untuk berburu.

1. Ngobor. Pemburu menggunakan lampu petromaks dan dimodifikasi menggunakan seng alumunium sebagai alat untuk memfokuskan arah sinar. Dengan modifikasi ini, sinar akan terkumpul di satu sisi, sehingga akan memudahkan dalam perburuan. Cara kerja alat ini adalah pemburu berada di belakang sinar, kemudian mengarahkan sinar ke target (burung). Burung akan kaget dan diam, tidak terbang, kemudian burung ditangkap. Teknik ini digunakan pada burung-burung sawah seperti Tikusan, Kareo dan Mandar (Fam Rallidae).

2. Jaring kabut. Sebagaimana umumnya teknik penangkapan dengan jaring kabut, teknik ini juga digunakan para pemburu dengan cara membentangkan jaring di daerah lintasan burung. Umumnya teknik ini menggunakan alat bantu berupa alat tiruan suara burung yang dibuat dari bambu dan ban bekas. Dengan alat ini, burung akan menghampiri sumebr suara dan menabrak jaring yang dipasang. Areal berburu biasanya di daerah pertambakan dan pesisir. Hasil buruan antara lain jenis Bambangan, Kareo, Mandar, Berkik dan burung pantai.

3. Pulut. Teknik ini tergolong teknik yang paling sedikit menghasilkan jumlah tangkapan. Namun keunggulan teknik ini adalah pemburu dapat menentukan target buruan. Dengan teknik ini, pemburu biasanya akan mencari jenis burung yang berharga tinggi, meskipun hasil tangkapannya sedikit. Alat ini menggunakan getah nangka yang telah dimasak kemudian ditempatkan di lokasi burung target biasa hinggap. Di dekatnya dipasang beberapa jenis makanan atau rekaman suara. Burung target akan mendekat dan terjebak dalam pulut tersebut. Jenis burung yang tertangkap umumnya jenis Belibis dan Pecuk.

4. Clap Net. Alat ini digunakan untuk menangkap jenis burung Tekukur, Kuntul, Blekok dan lain-lain. Dengan menggunakan umpan seperti makanan atau burung yang diletakkan di antara kedua jaring, maka burung target akan menghampiri. Ketika burung sudah turun ke tanah dan mendekati umpan, jaring ditarik dari tempat bersembunyi dan burung akan tertangkap di dalam jaring.

5. Dodot. Teknik ini merupakan teknik yang paling unik. Dengan menggunakan jaring yang dipasang mengitari suatu areal perburuan, seperti sawah, pemburu kemudian meniup alat berupa seng yang dibuat seperti terompet. Suara yang ditimbulkan mengakibatkan burung lari menghindari arah suara, kemudian menabrak jaring yang telah dipasang.

C. Musim, Lokasi dan Hasil Buruan

Pemburu di Muara Gembong dapat dibagi berdasarkan jenis alat yang digunakan. Setiap pemburu hanya memiliki satu spesialisasi alat. Dengan demikian, pada suatu waktu seperti musim kering, pemburu burung migran akan berhenti beraktivitas. Namun untuk pemburu jenis lokal akan terus berburu sepanjang tahun.

Lahan pertanian di Muara Gembong yang masih sangat luas menjadi salah satu habitat penting bagi burung, khususnya burung air. Karena luasnya lahan, musim tanam dan musim panen di daerah ini juga tidak sama, meskipun terdapat dalam satu kawasan. Hal ini menyebabkan terjadi perpindahan burung secara lokal di satu kawasan. Burung air di persawahan biasanya akan mencari makan di daerah pasca panen dan membuat sarang atau beristirahat di sawah yang belum dipanen. Oleh karenanya pemburu akan mencari daerah yang baru saja dipanen dan di sekitarnya masih terdapat padi yang belum dipanen. Namun sebagian besar pemburu akan beristirahat dan memilih menjadi burung tani. Jangka waktu istirahat ini minimal 3 bulan dalam setahun.

Lokasi perburuan juga tidak hanya berada di sekitar Ujung Karawang, namun sekarang sudah menjangkau daerah di dekatnya seperti Karawang dan Subang. Hasil buruan dan harganya sangat bervariasi. Beberapa jenis burung migran yang hanya dapat tertangkap pada waktu-waktu tertentu memiliki harga yang lebih rendah dibandingkan dengan burung penetap (resident).

Tabel Contoh harga burung dan estimasi tangkapan

Nama

Harga dalam rupiah

Estimasi tangkapan dalam 1 tahun

Purple Swamphen

5000

96000

Yellow Bittern

5000 per 4 birds

36000

Bitterns

5000 per 4 birds

4800

Slaty-breasted Rail

2500

4800

Crakes

2500

48000

Snipes

8000

18000

Oriental Pratincole

5000

24000

Sandpipers

5000 per 4 birds


Plovers

2000 per 4 birds


Watercock

8000

27000

Common Moorhen

5000

54000

D. Rantai Perburuan

Dalam sistem perburuan burung di Ujung Karawang, terdapat beberapa aktor penting yang berpengaruh terhadap sistem. Aktor-aktor ini berkedudukan sebagai pegepul, dan menjadi bos bagi para pemburu. Kami menemui sedikitnya ada 5 orang pengepul di daerah ini. Mereka umumnya memiliki anak buah (pemburu) dan jaringan yang akan memasarkan hasil buruan. Dari pengepul tersebut, kami mendapatkan data jumlah pemburu di daerah ini berkisar antara 20 hingga 84 orang. Jumlah pemburu bervariatif, tergantung pada musim tanam dan panen. Pada saat mendekati musim panen, jumlah pemburu akan melonjak, dikarenakan pada saat musim tersebut, burung akan sering keluar sarang dan mencari makan di lahan bekas panen. Hal sebaliknya terjadi saat musim tanam, di mana burung jarang turun di sawah baru, sehingga kebanyakan pemburu akan berhenti beraktivitas. Selain masalah burung yang sepi, pada masa tanam, banyak pemburu yang beralih profesi menjadi buruh tani.

Meskipun jumlah pengepul sedikit, namun justru pengepul inilah yang membuat pola dan ritme, yang harus diikuti oleh para pemburu. Masing-masing pemburu dan pengepul seperti sudah memiliki perjanjian khusus, di mana pemburu harus menjual hasil buruan kepada pengepul tertentu, dan tidak diperbolehkan untuk menjual kepada pengepul lain. Demikian juga pengepul, yang tidak diperbolehkan untuk mengambil burung dari pemburu yang tidak ada di bawahnya. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa pelanggaran komitmen yang terjadi. Hal ini sering menimbulkan konflik antar pengepul atau pemburu. Efeknya, pengepul tidak akan membantu segala kekurangan pemburu yang melanggar kesepakatan.

Salah satu contoh pentingnya pengepul dalam sistem ini adalah jadwal perburuan. Pemburu diharuskan libur pada waktu-waktu tertentu, seperti pada Hari Raya Qurban (Idul Adha). Hal ini dikarenakan pada hari tersebut stok daging naik, sehingga burung sulit untuk dijual. Selain itu, pengepul juga meliburkan para pemburu antara 3 – 6 bulan per tahunnya, sesuai dengan kondisi yang ada.

Burung hasil buruan kemudian didistribusikan kepada konsumen, baik konsumen primer (langsung) maupun sekunder (tidak langsung). Konsumen langsung adalah masyarakat yang menggunakan burung sebagai bahan makanan, sedangkan konsumen tidak langsung adalah masyarakat yang menggunakan burung hasil buruan untuk diolah dan dijual kepada konsumen langsung. Contoh konsumen sekunder adalah warung makan dan rumah produksi daging seperti abon dan dendeng. Pengepul pada awalnya mendistribusikan sendiri hasil buruannya, namun sekarang masing-masing pengepul sudah memiliki tenaga bantuan dan tenaga bantuan ini kemudian mengambil keuntungan sendiri dari hasil buruannya.

E. Dampak terhadap Ekosistem dan Pengelolaannya

Keseimbangan suatu ekosistem sangat didukung oleh terjadinya aliran energi dalam siklus rantai makanan secara alami (Wuryadi, 1998). Apabila terdapat campur tangan dan introduksi dari manusia, maka akan terjadi perubahan dalam aliran energi, yang diakibatkan oleh berkurang atau hilangnya suatu unsur rantai makanan tersebut. Perburuan merupakan salah satu tindakan campur tangan manusia terhadap ekosistem selain konversi habitat dan budidaya hewan atau tanaman. Perburuan dalam skala besar akan mengakibatkan hilangnya salah satu unsur genetik dalam ekosistem, sebab apabila jumlah hewan yang diburu melebihi kemampuan reproduksi hewan tersebut, maka dalam waktu tertentu hewan tersebut akan punah, contohnya adalah semakin jarang ditemukannya burung Gelatik Jawa (Padda oryzivora) (Restall, 1996). Demikian juga konversi habitat, apabila terjadi perubahan habitat suatu hewan secara ekstrem dan melebihi daya dukung biologi untuk hewan tersebut, maka akan terjadi kepunahan terhadapnya (Johnstone dan Storr, 1980)

Ujung Karawang pada awalnya didominasi oleh rawa-rawa. Menurut masyarakat sekitar, pada masa penjajahan, burung masih sangat mudah ditemukan di areal rawa-rawa tersebut. Perburuan pada masa itu dengan teknik “pancing” dan “Ngrogong”. Meski dengan teknik sederhana, namun hasil yang didapatkan juga cukup banyak. Tekanan ekonomi menjadikan masyarakat mengubah pola hidup dari nelayan menjadi petani, dampaknya adalah berubahnya daerah rawa-rawa menjadi areal persawahan. Pengubahan ini mengakibatkan terjadinya perubahan habitat, yakni dari rawa menjadi sawah. Dampaknya adalah terjadi peledakan populasi jenis Rallidae (Mandar, tikusan, kareo dll), dikarenakan ketersediaan pakan melimpah. Jenis burung-burung tersebut menjadi hama bagi para petani waktu itu, sehingga mendorong masyarakat untuk memburu burung. Hingga saat ini di daerah Karawang petani masih menganggap burung sebagai hama, karena jumlahnya yang melimpah.

Di Ujung Karawang, daya dukung habitat meski secara detail belum diteliti, namun masih menjadi salah satu habitat penting bagi burung. Tidak kurang dari 160 jenis burung dapat ditemukan di sini, dan lebih dari separuhnya adalah jenis burung air (82 jenis). Meski demikian bukan berarti kawasan ini menjadi aman bagi burung, sebab telah banyak konversi lahan dan perusakan hutan mangrove oleh masyarakat sekitar. Di Muara Gembong, lahan sawah sudah banyak yang dikonversi menjadi tambak, sedangkan di Karawang, banyak areal hutan mangrove yang dirubah menjadi pertambakan. Apabila kondisi ini berlangsung secara terus menerus tanpa pengawasan dari pihak terkait, maka dapat dipastikan bahwa ekosistem akan berubah.

Pengelolaan untuk konservasi sebenarnya mutlak dilakukan untuk menghindari terjadinya ketidakseimbangan ekosistem (Wuryadi, 1998). Namun kita harus melakukan perencanaan secara matang sebelum mengambil keputusan, dikarenakan faktor ekonomi masih menjadi dasar terjadinya perburuan (McCarthy and Noor 1996). Salah satu faktor penting yang harus dipengaruhi adalah pengepul sebagai pemegang peranan penting dalam rantai perburuan. Dengan sistem penyadartahuan dan manajemen pasar, dimungkinkan dapat mencegah perburuan yang lebih ekstrem. Contohnya adalah dengan membatasi usia burung (karena banyak burung anakan ikut tertangkap dan dijual), melakukan sosialisasi dan pengawasan secara terus menerus. Upaya konservasi secara lokal juga telah dilakukan, meski tidak disadari oleh pemburu, yakni terdapat waktu istirahat selama 3 bulan (masa tanam). Pada masa ini burung akan berkembangbiak sehingga jumlah burung di alam kemungkinan masih terjaga. Selain itu, khusus pemburu “dhodot”, setiap hari Jumat mereka akan beristirahat, sebab akan bersamaan dengan sholat Jumat, sehingga pemburu memilih beristirahat di rumah. Melalui usaha-usaha tersebut, kita dapat meminimalisir gangguan terhadap ekosistem, tanpa mengurangi pendapatan para pemburu dan pengepul .