Senin, 13 Desember 2010

Survey Gelatik Jawa (Padda oryzivora) Luweng Jotak, Pijenan, Kepundung, Girikarto, Panggang, Gunung Kidul, DIY

A. Pendahuluan
Yogyakarta sebagai salah satu kawasan yang kaya akan keanekaragaman jenis burungnya, didukung dengan struktur geografis yang beragam. Keberagaman topografi tanah, keberadaan hutan hujan, kawasan pesisir dan lahan karst membentuk suatu ekosistem yang unik dan beragam, khususnya pada burung. Tercatat lebih dari 250 jenis burung dapat ditemukan di Yogyakarta, mulai dari jenis shorebird, raptor hingga jenis landbird. Kategorinya juga bermacam-macam, mulai dari yang berstatus Endangered (Elang Jawa/Javan Hawk Eagle), Vulnerable (Gelatik Jawa/Javan Sparrow) dan Near Treathened (Cerek Jawa/Javan Plover). Daya dukung habitat ini menjadikan persebaran jenis burung di Yogyakarta tidak hanya terkonsentrasi di satu tipe habitat saja, melainkan hampir merata di semua kawasan.
Gelatik Jawa (Padda oryzivora) merupakan salah satu burung endemik Pulau Jawa dan Bali. Sebagai salah satu burung yang memiliki persebaran terbatas, karakteristik habitat yang diperlukan juga spesifik, sehingga burung ini dikategorikan vulnerable oleh IUCN 2004.

Gambar 1. Burung Gelatik Jawa

Meskipun dinyatakan sebagai burung endemik, namun burung ini telah menjadi salah satu ikon bagi beberapa negara di dunia seperti Tanzania dan China. Hal ini dimungkinkan karena terjadi perdagangan dan pengiriman burung ini ke negara-negara tersebut pada masa penjajahan. Burung yang diintroduksi ini berhasil berkembang dan menjadi salah satu ikon bagi negara tersebut.

Gambar 2. Persebaran Gelatik Jawa
Penelitian mengenai burung ini telah dimulai sejak lama. Sebelum tahun 1950, burung ini hanya ditemukan di daerah Jawa Barat dan sedikit catatan di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta Bali. Penelitian berikutnya (1950 – 2000), beberapa lokasi baru telah diidentifikasi sebagai habitat Gelatik Jawa seperti Prambanan, Hotel Purosani, Kepurun, Jotak dan Magelang. Sedangkan khusus di kawasan Gunung Kidul, beberapa tempat telah teridentifikasi sebagai habitat, yaitu di Panggang (Luweng Jotak dan sekitarnya), Paliyan dan Baron.
Meskipun telah dilakukan survey secara intensif sejak 2005 oleh Yayasan Kutilang Indonesia, namun pemerintah dalam hal ini Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Propinsi Yogyakarta juga harus ikut serta dalam upaya pelestariannya. Selain sebagai pihak yang paling berwenang, BKSDA juga menjadi lembaga yang berperan untuk menyadarkan arti penting konservasi kepada masyarakat sekitar.

B. Populasi Gelatik Jawa di Luweng Jotak

Gelatik Jawa telah diketahui keberadaannya di Luweng Jotak sejak tahun 2001. Namun penelitian yang intensif baru dilakukan sejak tahun 2005 oleh Yayasan Kutilang Indonesia. Mereka menggunakan celah-celah luweng sebagai tempat istirahat dan bersarang. Selain itu, Gelatik Jawa di Jotak juga menggunakan area seperti hutan jati dan perkebunan sebagai tempat beristirahat dan mencari makan.
Populasi Gelatik Jawa di daerah ini mengalami fluktuasi. Namun fluktuasi yang terjadi tidak terlalu signifikan. Hal ini dimungkinkan karena proses reproduksi dan ancaman terhadap burung ini berjalan seimbang. Pada penelitian ini, populasi di Jotak juga tidak sama setiap harinya.




Tabel 1. Populasi Gelatik Jawa Maret 2010
No Hari/Tanggal Jam Pengamatan Populasi Keterangan
1 Senin/15 Maret 2010 15.30 - 18.00 WIB 11 Cuaca berawan
2 Selasa/16 Maret 2010 06.00 - 09.00 WIB 31 Cuaca cerah dan sangat panas, burung lebih banyak beraktivitas pada jam 07.00 - 08.00 seperti Prinning, bercumbu dan bermain di semak utara Luweng.
3 Selasa/16 Maret 2010 15.00 - 18.00 WIB 18 Aktivitas burung di semak utara luweng sangat jarang dan lebih banyak yang keluar area luweng (barat dan timur), cuaca cerah berawan. 18 ekor tercatat masih berada di luar luweng pada petang hari.
4 Rabu/17 Maret 2010 06.00 - 10.00 WIB 17 Cuaca cerah, malam harinya hujan deras disertai angin dan petir, burung lebih banyak beraktivitas di sekitar Luweng, namun setelah jam 09.00, burung pergi ke luar area

Dari tabel di atas, populasi Gelatik Jawa cenderung lebih banyak pada Selasa pagi dengan jumlah populasi sekitar 31 ekor. Namun hanya sekitar 6 - 10 pasang yang menggunakan luweng sebagai sarang. Pada Senin sore, tercatat 5 – 6 pasang Gelatik Jawa masuk ke dalam luweng pada petang hari. Sedangkan pada Selasa pagi dan siang, burung yang masuk ke dalam luweng lebih banyak, yaitu sekitar 31 ekor. Pada petang harinya, tercatat 18 ekor atau 9 pasang burung masih di luar luweng. Populasi burung ini kembali hanya tercatat 17 ekor pada Rabu pagi. Namun burung teramati sudah banyak beraktivitas di semak sebelah utara luweng.

Gambar 3. Populasi Gelatik Jawa di Luweng Jotak

Pola populasi yang demikian menunjukkan bahwa hanya 6 – 10 pasang burung Gelatik Jawa yang sedang bersarang, sedangkan 9 pasang lainnya masih dalam proses mencari atau membuat sarang. Hal ini diperkuat dengan data yang menunjukkan bahwa Gelatik Jawa yang masuk ke dalam luweng pada Senin sore hanya sekitar 5 – 6 pasang. Namun pada Selasa siang, sekitar 31 ekor tercatat masuk ke dalam luweng. Hal ini dimungkinkan bahwa burung baru yang masuk ke dalam luweng merupakan burung yang sedang mencari tempat bersarang dan belum membangun sarang di dalam luweng, sebab pada sore harinya masih 9 pasang yang tercatat berada di luar luweng.
Dinamika seperti ini menandakan burung dipastikan memiliki area lain sebagai tempat beristirahat. Hutan jati, sengon, mahoni dan pohon lain yang tinggi kemungkinan menjadi salah satu tempat istirahat bagi burung ini. Sedangkan luweng dijadikan tempat beristirahat bagi sebagian burung, namun menjadi tempat bersarang bagi populasi Gelatik Jawa di Jotak dan sekitarnya.

Jumat, 02 Juli 2010

Berburu Burung di Muara Gembong

A. Sejarah Singkat Perburuan di Muara Gembong

Di Muara Gembong, perburuan secara massal sudah dilakukan sejak tahun 1930-an. Masyarakat di sekitar kawasan ini mencari burung untuk dijadikan bahan kebutuhan makanan. Dengan hanya menggunakan alat berupa benang senar dan layang-layang, masyarakat awalnya hanya memburu jenis burung tertentu, seperti Pecuk dan Kuntul. Teknik ini dikenal di masyarakat dengan nama “pancing”. Pemburupun terbatas, hanya para nelayan dan pencari ikan di laut yang menggunakan alat ini. Teknik yang lain adalah “Ngrogong”, yakni berburu burung Rallidae sepert Mandar dan Tikusan dengan cara menyelam dan menangkap bagian kaki burung.

Teknik perburuan kemudian meningkat seiring terjadinya perpindahan penduduk ke daerah Muara Angke dan Cilincing, Jakarta Utara. Di daerah ini, pendatang dari Muara Gembong mendapatkan pengalaman mengenai teknik peralatan berburu, kemudian dipraktekkan di sekitar Jakarta Utara. Dengan semakin berkembangnya daerah Jakarta, menyebabkan terjadi pergeseran areal perburuan menuju ke pesisir sebelah timur, yakni Ujung Karawang. Pada masa tersebut, mulai terjadi perburuan secara massal di Muara Gembong.

Kegiatan perburuan kemudian bergeser, dari masalah faktor ekonomi menjadi budaya, dikarenakan kegiatan ini dipelajari dan dijadikan salah satu sumber mata pencaharian. bahkan telah terbentuk suatu sistem yang rapi di dalam perburuan ini, sehingga kita perlu sangat hati-hati untuk melihat dan masuk ke dalam sistem ini.

B. Metode dan Teknik Berburu

Tedapat beberapa macam metode dan peralatan yang digunakan untuk berburu. Kami mencatat ada 5 metode dan teknik yang digunakan untuk berburu.

1. Ngobor. Pemburu menggunakan lampu petromaks dan dimodifikasi menggunakan seng alumunium sebagai alat untuk memfokuskan arah sinar. Dengan modifikasi ini, sinar akan terkumpul di satu sisi, sehingga akan memudahkan dalam perburuan. Cara kerja alat ini adalah pemburu berada di belakang sinar, kemudian mengarahkan sinar ke target (burung). Burung akan kaget dan diam, tidak terbang, kemudian burung ditangkap. Teknik ini digunakan pada burung-burung sawah seperti Tikusan, Kareo dan Mandar (Fam Rallidae).

2. Jaring kabut. Sebagaimana umumnya teknik penangkapan dengan jaring kabut, teknik ini juga digunakan para pemburu dengan cara membentangkan jaring di daerah lintasan burung. Umumnya teknik ini menggunakan alat bantu berupa alat tiruan suara burung yang dibuat dari bambu dan ban bekas. Dengan alat ini, burung akan menghampiri sumebr suara dan menabrak jaring yang dipasang. Areal berburu biasanya di daerah pertambakan dan pesisir. Hasil buruan antara lain jenis Bambangan, Kareo, Mandar, Berkik dan burung pantai.

3. Pulut. Teknik ini tergolong teknik yang paling sedikit menghasilkan jumlah tangkapan. Namun keunggulan teknik ini adalah pemburu dapat menentukan target buruan. Dengan teknik ini, pemburu biasanya akan mencari jenis burung yang berharga tinggi, meskipun hasil tangkapannya sedikit. Alat ini menggunakan getah nangka yang telah dimasak kemudian ditempatkan di lokasi burung target biasa hinggap. Di dekatnya dipasang beberapa jenis makanan atau rekaman suara. Burung target akan mendekat dan terjebak dalam pulut tersebut. Jenis burung yang tertangkap umumnya jenis Belibis dan Pecuk.

4. Clap Net. Alat ini digunakan untuk menangkap jenis burung Tekukur, Kuntul, Blekok dan lain-lain. Dengan menggunakan umpan seperti makanan atau burung yang diletakkan di antara kedua jaring, maka burung target akan menghampiri. Ketika burung sudah turun ke tanah dan mendekati umpan, jaring ditarik dari tempat bersembunyi dan burung akan tertangkap di dalam jaring.

5. Dodot. Teknik ini merupakan teknik yang paling unik. Dengan menggunakan jaring yang dipasang mengitari suatu areal perburuan, seperti sawah, pemburu kemudian meniup alat berupa seng yang dibuat seperti terompet. Suara yang ditimbulkan mengakibatkan burung lari menghindari arah suara, kemudian menabrak jaring yang telah dipasang.

C. Musim, Lokasi dan Hasil Buruan

Pemburu di Muara Gembong dapat dibagi berdasarkan jenis alat yang digunakan. Setiap pemburu hanya memiliki satu spesialisasi alat. Dengan demikian, pada suatu waktu seperti musim kering, pemburu burung migran akan berhenti beraktivitas. Namun untuk pemburu jenis lokal akan terus berburu sepanjang tahun.

Lahan pertanian di Muara Gembong yang masih sangat luas menjadi salah satu habitat penting bagi burung, khususnya burung air. Karena luasnya lahan, musim tanam dan musim panen di daerah ini juga tidak sama, meskipun terdapat dalam satu kawasan. Hal ini menyebabkan terjadi perpindahan burung secara lokal di satu kawasan. Burung air di persawahan biasanya akan mencari makan di daerah pasca panen dan membuat sarang atau beristirahat di sawah yang belum dipanen. Oleh karenanya pemburu akan mencari daerah yang baru saja dipanen dan di sekitarnya masih terdapat padi yang belum dipanen. Namun sebagian besar pemburu akan beristirahat dan memilih menjadi burung tani. Jangka waktu istirahat ini minimal 3 bulan dalam setahun.

Lokasi perburuan juga tidak hanya berada di sekitar Ujung Karawang, namun sekarang sudah menjangkau daerah di dekatnya seperti Karawang dan Subang. Hasil buruan dan harganya sangat bervariasi. Beberapa jenis burung migran yang hanya dapat tertangkap pada waktu-waktu tertentu memiliki harga yang lebih rendah dibandingkan dengan burung penetap (resident).

Tabel Contoh harga burung dan estimasi tangkapan

Nama

Harga dalam rupiah

Estimasi tangkapan dalam 1 tahun

Purple Swamphen

5000

96000

Yellow Bittern

5000 per 4 birds

36000

Bitterns

5000 per 4 birds

4800

Slaty-breasted Rail

2500

4800

Crakes

2500

48000

Snipes

8000

18000

Oriental Pratincole

5000

24000

Sandpipers

5000 per 4 birds


Plovers

2000 per 4 birds


Watercock

8000

27000

Common Moorhen

5000

54000

D. Rantai Perburuan

Dalam sistem perburuan burung di Ujung Karawang, terdapat beberapa aktor penting yang berpengaruh terhadap sistem. Aktor-aktor ini berkedudukan sebagai pegepul, dan menjadi bos bagi para pemburu. Kami menemui sedikitnya ada 5 orang pengepul di daerah ini. Mereka umumnya memiliki anak buah (pemburu) dan jaringan yang akan memasarkan hasil buruan. Dari pengepul tersebut, kami mendapatkan data jumlah pemburu di daerah ini berkisar antara 20 hingga 84 orang. Jumlah pemburu bervariatif, tergantung pada musim tanam dan panen. Pada saat mendekati musim panen, jumlah pemburu akan melonjak, dikarenakan pada saat musim tersebut, burung akan sering keluar sarang dan mencari makan di lahan bekas panen. Hal sebaliknya terjadi saat musim tanam, di mana burung jarang turun di sawah baru, sehingga kebanyakan pemburu akan berhenti beraktivitas. Selain masalah burung yang sepi, pada masa tanam, banyak pemburu yang beralih profesi menjadi buruh tani.

Meskipun jumlah pengepul sedikit, namun justru pengepul inilah yang membuat pola dan ritme, yang harus diikuti oleh para pemburu. Masing-masing pemburu dan pengepul seperti sudah memiliki perjanjian khusus, di mana pemburu harus menjual hasil buruan kepada pengepul tertentu, dan tidak diperbolehkan untuk menjual kepada pengepul lain. Demikian juga pengepul, yang tidak diperbolehkan untuk mengambil burung dari pemburu yang tidak ada di bawahnya. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa pelanggaran komitmen yang terjadi. Hal ini sering menimbulkan konflik antar pengepul atau pemburu. Efeknya, pengepul tidak akan membantu segala kekurangan pemburu yang melanggar kesepakatan.

Salah satu contoh pentingnya pengepul dalam sistem ini adalah jadwal perburuan. Pemburu diharuskan libur pada waktu-waktu tertentu, seperti pada Hari Raya Qurban (Idul Adha). Hal ini dikarenakan pada hari tersebut stok daging naik, sehingga burung sulit untuk dijual. Selain itu, pengepul juga meliburkan para pemburu antara 3 – 6 bulan per tahunnya, sesuai dengan kondisi yang ada.

Burung hasil buruan kemudian didistribusikan kepada konsumen, baik konsumen primer (langsung) maupun sekunder (tidak langsung). Konsumen langsung adalah masyarakat yang menggunakan burung sebagai bahan makanan, sedangkan konsumen tidak langsung adalah masyarakat yang menggunakan burung hasil buruan untuk diolah dan dijual kepada konsumen langsung. Contoh konsumen sekunder adalah warung makan dan rumah produksi daging seperti abon dan dendeng. Pengepul pada awalnya mendistribusikan sendiri hasil buruannya, namun sekarang masing-masing pengepul sudah memiliki tenaga bantuan dan tenaga bantuan ini kemudian mengambil keuntungan sendiri dari hasil buruannya.

E. Dampak terhadap Ekosistem dan Pengelolaannya

Keseimbangan suatu ekosistem sangat didukung oleh terjadinya aliran energi dalam siklus rantai makanan secara alami (Wuryadi, 1998). Apabila terdapat campur tangan dan introduksi dari manusia, maka akan terjadi perubahan dalam aliran energi, yang diakibatkan oleh berkurang atau hilangnya suatu unsur rantai makanan tersebut. Perburuan merupakan salah satu tindakan campur tangan manusia terhadap ekosistem selain konversi habitat dan budidaya hewan atau tanaman. Perburuan dalam skala besar akan mengakibatkan hilangnya salah satu unsur genetik dalam ekosistem, sebab apabila jumlah hewan yang diburu melebihi kemampuan reproduksi hewan tersebut, maka dalam waktu tertentu hewan tersebut akan punah, contohnya adalah semakin jarang ditemukannya burung Gelatik Jawa (Padda oryzivora) (Restall, 1996). Demikian juga konversi habitat, apabila terjadi perubahan habitat suatu hewan secara ekstrem dan melebihi daya dukung biologi untuk hewan tersebut, maka akan terjadi kepunahan terhadapnya (Johnstone dan Storr, 1980)

Ujung Karawang pada awalnya didominasi oleh rawa-rawa. Menurut masyarakat sekitar, pada masa penjajahan, burung masih sangat mudah ditemukan di areal rawa-rawa tersebut. Perburuan pada masa itu dengan teknik “pancing” dan “Ngrogong”. Meski dengan teknik sederhana, namun hasil yang didapatkan juga cukup banyak. Tekanan ekonomi menjadikan masyarakat mengubah pola hidup dari nelayan menjadi petani, dampaknya adalah berubahnya daerah rawa-rawa menjadi areal persawahan. Pengubahan ini mengakibatkan terjadinya perubahan habitat, yakni dari rawa menjadi sawah. Dampaknya adalah terjadi peledakan populasi jenis Rallidae (Mandar, tikusan, kareo dll), dikarenakan ketersediaan pakan melimpah. Jenis burung-burung tersebut menjadi hama bagi para petani waktu itu, sehingga mendorong masyarakat untuk memburu burung. Hingga saat ini di daerah Karawang petani masih menganggap burung sebagai hama, karena jumlahnya yang melimpah.

Di Ujung Karawang, daya dukung habitat meski secara detail belum diteliti, namun masih menjadi salah satu habitat penting bagi burung. Tidak kurang dari 160 jenis burung dapat ditemukan di sini, dan lebih dari separuhnya adalah jenis burung air (82 jenis). Meski demikian bukan berarti kawasan ini menjadi aman bagi burung, sebab telah banyak konversi lahan dan perusakan hutan mangrove oleh masyarakat sekitar. Di Muara Gembong, lahan sawah sudah banyak yang dikonversi menjadi tambak, sedangkan di Karawang, banyak areal hutan mangrove yang dirubah menjadi pertambakan. Apabila kondisi ini berlangsung secara terus menerus tanpa pengawasan dari pihak terkait, maka dapat dipastikan bahwa ekosistem akan berubah.

Pengelolaan untuk konservasi sebenarnya mutlak dilakukan untuk menghindari terjadinya ketidakseimbangan ekosistem (Wuryadi, 1998). Namun kita harus melakukan perencanaan secara matang sebelum mengambil keputusan, dikarenakan faktor ekonomi masih menjadi dasar terjadinya perburuan (McCarthy and Noor 1996). Salah satu faktor penting yang harus dipengaruhi adalah pengepul sebagai pemegang peranan penting dalam rantai perburuan. Dengan sistem penyadartahuan dan manajemen pasar, dimungkinkan dapat mencegah perburuan yang lebih ekstrem. Contohnya adalah dengan membatasi usia burung (karena banyak burung anakan ikut tertangkap dan dijual), melakukan sosialisasi dan pengawasan secara terus menerus. Upaya konservasi secara lokal juga telah dilakukan, meski tidak disadari oleh pemburu, yakni terdapat waktu istirahat selama 3 bulan (masa tanam). Pada masa ini burung akan berkembangbiak sehingga jumlah burung di alam kemungkinan masih terjaga. Selain itu, khusus pemburu “dhodot”, setiap hari Jumat mereka akan beristirahat, sebab akan bersamaan dengan sholat Jumat, sehingga pemburu memilih beristirahat di rumah. Melalui usaha-usaha tersebut, kita dapat meminimalisir gangguan terhadap ekosistem, tanpa mengurangi pendapatan para pemburu dan pengepul .

Kamis, 04 Maret 2010

Evolusi (berat badan) Pengamat Burung

Percaya atau tidak, suatu hobi atau kesenangan akan mengubah jalan hidup dan pikiran seseorang. Demikian juga yang saya alami. Namun perubahan yang terjadi tidak hanya dalam kedua hal tersebut, karena secara tidak langsung, tubuh ini juga mengalami perubahan secara signifikan (tepatnya: bertambah bobot).

Awal pengamatan burung, beratku masih standar di angka 56-58 Kg. Angka ini berlaku hingga akhir tahun 2005. Namun angka ini tiba-tiba naik secara drastis pada akhir Januari 2006, tepatnya setelah aku ikut tim AI selama 10 hari di Trisik. Cukup fantastis, mengingat angkanya menjadi 64 Kg.

Hal ini unik, dikarenakan kondisi fisik yang harus digenjot terus menerus dan mendapatkan tekanan yang demikian besar dari sang komandan, justru aku bisa menaikkan berat badanku. Bandingkan dengan kawanku seperti Haris dan Batak, yang justru mengalami “penyusutan” yang lumayan banyak.

Kondisi ini terus memuncak, hingga tahun 2007, aku mendapati beratku menjadi 70 Kg dan berdampak serius terhadap perutku yang menjadi “hamil”. Aku sendiri heran, kenapa beratku bisa menjadi sedemikian drastis? Apakah karena susu yang diberikan tim tiap hari? Atau karena hal lain???

Setelah aku keluar dari tim AI, aku memang mampu menurunkan berat badanku, namun tidak pada perutku. Meski aku kini berbobot 68 Kg, namun hingga tulisan ini aku buat, aku masih melihat perutku tidak mengalami penyusutan sedikitpun……


Sabtu, 27 Februari 2010

BIRDLIST AT MANGUNAN AND SURROUNDINGS

A. Deskripsi Area

Mangunan merupakan salah satu desa yang berada di kawasan Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Propinsi Yogyakarta. Mangunan memiliki karakteristik wilayah berupa perbukitan dan persawahan yang didukung oleh keberadaan hutan pinus, lembah Kali Oyo dan persawahan tadah hujan serta perkebunan. Mangunan dibatasi oleh Kecamatan Imogiri di sebelah selatan, Kecamatan Pleret di sebelah barat, Kabupaten Gunungkidul di sebelah timur dan utara.

Wilayah ini dibagi menjadi 6 dusun, yaitu Dusun Mangunan, Dusun Sukarame, Dusun Cempluk, Dusun Kediwung, Dusun Lemahbang dan Dusun Kanigoro. Kondisi lahan di kawasan ini cukup representatif, karena memiliki sumber air yang berasal dari hutan. Beberapa dusun menggunakan pipa plastik untuk mendapatkan air dari sumber tersebut, namun ada pula yang sudah mulai mengelolanya untuk digunakan secara bersama-sama.

Spot yang selama ini digunakan sebagai pos pengamatan berada di kawasan Dusun Mangunan (perkebunan), Dusun Sukarame (hutan pinus) dan Dusun Lemahbang (lembah Kali Oyo dan persawahan) mulai Maret 2005 hingga (sementara 31 Januari 2010). Sejak tahun 2007, Kebun Garuda (Bukit Hijau BNI) juga disurvey. Survey dilakukan dengan mengamati dan mendeskripsikan burung, baik menggunakan metode point count, line transect ataupun daftar jenis McKinnon.

B. Area Pengamatan

1. Perkebunan sekitar Mangunan

Area ini memiliki kawsan wisata yang baru, yaitu kebun buah Mangunan. Selain itu, beberapa penduduk memiliki lahan untuk berkebun maupun lahan mentah yang masih tertutupi oleh pepohonan. Hal ini menjadikan kawasan ini selalu ramai oleh kicauan burung setiap harinya. Pengamatan di kawasan ini baru berjalan satu kali. Di lokasi ini juga memiliki mata air dan kawasan ‘basah’ sehingga cukup menarik untuk dijadikan pos pengamatan. Kawasan ini dihuni oleh beberapa jenis burung seperti bentet kelabu, Cucak kutilang, merbah cerukcuk, Elang-ular bido dsb.

2. Hutan Pinus

Kekayaan hayati yang berada di kawasan ini cukup banyak. Tidak hanya burung, jenis hewan melata langka juga masih bisa dijumpai di daerah ini secara liar, seperti ular Phyton, Landak dan jenis kelelawar. Jenis burung yang berada di daerah ini antara lain bente kelabu, wiwik kelabu caladi ulam, Elang ular Bido, dsb.

3. Kali Oyo dan persawahan

Spot di daerah ini merupakan spot yang peling menarik. Merupakan daerah lembah dengan jenis tebing yang sangat ideal bagi ‘persembunyian’ beberapa jenis burung langka, yang dibawahnya mengalir air di Kali Oyo sepanjang tahun. Kerapatan hutan juga cukup ideal bagi kehidupan jenis-jenis burung. Sikep Madu Asia, Alap-alap Sapi, Cekakak sungai, Cekakak Jawa, Tekukur biasa, merupakan contoh-contoh burung yang terpantau di kawasan ini. Selain itu, karena masih merupakan daerah karst dengan tebing yang menjulang, daerah ini juga memiliki beberapa gua (cave) yang masih didiami hewan-hewan liar seperti kelelawar, ular Phyton, Weling, Kobra dan beberapa jenis landak.

4. Bukit Hijau BNI 46 (Hutan Garuda)

Merupakan kawasan perbukitan yang dijadikan area pengembangan ulat sutra. Didominasi oleh perkebunan Jambu Mete dan hutan Akasia, kawasan ini menjadi daerah yang sangat sering dikunjungi oleh warga untuk berekreasi. Meskipun demikian, keanekaragaman jenis burung di sekitar area ini masih didominasi burung Kutilang. Namun jenis lain seperti Ayam hutan hijau, alap-alap sapi, Elang ular bido, caladi tilik dan jenis burung pemakan buah dan nektar dapat juga ditemui di daerah ini.

C. Data Hasil Pengamatan (sampai 31 Januari 2010)

No

Nama

Lokasi pertemuan

Indonesia

Ilmiah

Inggris

Kebun Buah

Hutan Pinus

Nolagi

Hutan rakyat

Kebun Garuda

1

Blekok sawah

Ardeola speciosa

Javan pond heron





2

Kuntul kerbau

Bubulcus ibis

Cattle egret





3

Kowak malam abu

Nyticorax nycticorax

Black crowned night heron





4

Bambangan merah

Ixobrychus cinnamomeus

Cinnamon bittern





5

Sikep madu asia

Pernis ptilorhynchus

Oriental honey buzzard





6

Elang ular bido

Spilornis cheela

Crested serpent eagle

7

Alap-alap sapi

Falco moluccensis

Spotted kestrel




8

Ayam-hutan Hijau

Gallus varius

Green Junglefowl



9

Gemak Tegalan

Turnix sylvatica

Small buttonquail




10

Gemak loreng

Turnix suscitator

Barred Buttonquail

11

Kareo Padi

Amaurornis phoenicurus

White-breasted Waterhen





12

Dederuk Jawa

Streptopelia bitorquata

Island Collared-Dove





13

Tekukur Biasa

Streptopelia chinensis

Spotted-Dove

14

Wiwik kelabu

Cacomatis merulinus

Plaintive cuckoo

15

Bubut alang-alang

Centropus bengalensis

Lesser coucal


16

Serak jawa

Tyto alba

Barn owl





17

Celepuk reban

Otus lempiji

Collared scopsowl

18

Kukuk beluk

Strix leptogrammica

Brown wood-owl





19

Walet Linci

Collocalia Linchi

Cave-Swiftlet

20

Kapinis Rumah

Apus affinis

Little Swift

21

Raja-udang biru

Alcedo coerulescens

Small Blue Kingfisher



22

Cekakak Jawa

Halcyon cyanoventris

Javan Kingfisher

23

Cekakak sungai

Todirhamphus chloris

Collared Kingfisher

24

Caladi ulam

Dendrocopos macei

Fulvous-breasted woodpecker

25

Caladi tilik

Dendrocopos moluccensis

Sunda woodpecker




26

Layang-layang api

Hirundo rustica

Barn swallow

27

Layang-layang batu

Hirundo tahitica

Pasific swallow




28

Layang-layang loreng

Hirundo striolata

Striated swallow





29

Sepah kecil

Pericrocotus cinnamomeus

Small minivet




30

Cipoh kacat

Aegithina tiphia

Common iora

31

Cucak kutilang

Pycnonotus aurigaster

Sooty-headed bulbul

32

Merbah cerukcuk

Pycnonotus gioavier

Yellow-vented bulbul

33

Gagak hutan

Corvus enca

Slender-billed crow

34

Gelatik-batu kelabu

Parus major

Great tit



35

Pelanduk semak

Malacocincla sepiarium

Horsfield's babbler

36

Kucica kampung

Copsychus saularis

Magpie robin




37

Cica-koreng jawa

Megalurus palustris

Striated grassbird





38

Cinenen kelabu

Orthotomus ruficeps

Ashy tailorbird

39

Perenjak padi

Prinia inornata

Plain prinia




40

Perenjak coklat

Prinia polychroa

Brown prinia

41

Cici padi

Cisticola juncidis

Zitting cisticola




42

Cici merah

Cisticola exilis

Golden-headed cisticola





43

Sikatan belang

Ficedula westermanni

Little pied flycatcher



44

Kipasan belang

Rhipidura javanica

Pied fantail



45

Apung tanah

Anthus novaeseelandiae

Common pipit





46

Kekep babi

Artamus leucorhynchus

White breasted wood swallow

47

Bentet kelabu

Lanius schach

Long tailed shrike

48

Kerak kerbau

Acridotheres javanicus

Javan myna





49

Burung madu kelapa

Anthreptes malacensis

Plain throated sunbird

50

Burung madu sriganti

Nectarinia jugularis

Olive backed sunbird

51

Cabai jawa

Dicaeum trochileum

Scarlet headed flowerpecker

52

Kacamata biasa

Zosterops palpebrosus

Oriental white eye

53

Burung gereja biasa

Passer montanus

Eurasian tree sparrow

54

Manyar tempua

Ploceus philippinus

Baya weaver





55

Bondol jawa

Lonchura leucogastroides

Javan munia




56

Bondol peking

Lonchura punctulata

Scaly breasted munia




57

Bondol haji

Lonchura maja

White headed munia